Budaya Politik Masyarakat Indonesia
MAKALAH
Perkembangan Budaya Politik
Masyarakat Indonesia
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan
Kewarganegaraan
Disusun oleh Kelompok 5
:
Ketua :
Siti Kurnia Puspita
Anggota :
Anggi Nur’Aeni
Astri Sulastri
Nenden Silvia Nur Azizah
Nia Herlina
Nina Karlina
Nina Tsaniyah
Guru Pembimbing:
Dra.Hj.Adah Rodiyah,M.mpd
Nip: 19590407
198603 2 006
SMK Negeri 3 Baleendah
Jalan Adipati Agung No.34
Baleendah Bandung
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
ALLAH SWT, karena atas berkat rahmatnya lah saya dapat menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih banyak kepada
pihak-pihak yang telah ikut membantu menyelesaikan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat tersusun. Tak lupa juga Saya juga mengucapkan terima kasih
banyak kepada teman-teman sekelas kami yang telah ikut membantu saya dalam
penyelesaian tugas ini sehingga selesai..Makalah ini sebagian dari tugas yang
telah di berikan guru kami untuk kami dan teman-teman.
Makalah ini ditulis dengan
tujuan spesifik, yaitu menjelaskan tentang Budaya Politik di Indonesia. Namun
materi dan gaya penyampaian dalam tutorial ini dibuat cukup generik agar dapat
menjadi sebuah bacaan umum.
Semoga pada makalah ini bisa menambah
pengetahuan teman-teman lain yang masih belum mengerti tentang budaya politik
yang ada di Indonesia.
Dan semoga makalah kami bisa bermanfaat untuk kalian
semua. Amin
Juli
2012
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................... I
DAFTAR ISI..................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang.............................................................. 1
B.Rumusan Masalah......................................................... 2
C.Tujuan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan
Era Demokrasi Parlementer.............. 4
2.2. Perkembangan
Era Demokrasi Terpimpin................ 5
2.3. Perkembangan
Era Demokrasi Pancasila.................. 6
2.4. Perkembangan
Era Reformasi................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................. 10
3.2 Pendapat..................................................................... 11
3.3 Saran........................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………… iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Tentunya kita pernah menyaksikan secara langsung maupun
tidak langsung melalui televise dan media massa lainnya pelaksanaan pemilu,
pilkada, demonstrasi, kerusuhan, kampanye partai politik, dan bahkan
penculikan-penculikan aktivis-aktivis politik. Pola-pola perilaku tersebut
menyangkut kehidupan bernagara, pemerintahan, hukum, adat istiadat dan lainnya
yang disebut sebagai budaya politik.
Sebagai warga Negara Indonesia, kita harus memahami
budaya politik yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945 agar
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa politik merupakan suatu
rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Politik secara umum menyangkut
proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu
memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
peraturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Kebijakan-kebijakan
umum hanya dapat dilakukan dengan kekuasaan dan untuk memperoleh kekuasaan
itulah diperlukan sarana politik yang disebut partai politik.
B. Rumusan Masalah
Melihat dari latar belakang masalah serta memahami
pembahasannya maka penulis dapat memberikan batasan-batasan pada Budaya Politik Yang Berkembang Dalam
Masyarakat indonesia
C . Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar kita mengerti apa
itu politik dan bisa menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak
negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat
ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita
dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam
empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih
dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa
Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama
atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau
yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila. Dan yang
terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV
(1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa.
Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik
Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya
suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja
yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian
ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada dua kerangka kerja yang
sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja
sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem politik
adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti
organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah
pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan
pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana
struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja.
Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana
perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh
negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno,
2008: 18).
Karena
pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka
dalam tulisan kali ini kami akan mencoba sedikit mengulas mengenai perkembangan
sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi
Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi
dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya politik.
1. Era Demokrasi Parlementer
(1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era
Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam
menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan
masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal
hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi
penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana
dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan
rakyat, dapat diberi arti
bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan
memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang
ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun
solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi
parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula ,munculnya kabinet-kabinet
yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang
mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik
akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng,
Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain
itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik
menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi
aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian,
menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial.
Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada
era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5
Juli 1959-1965)
Budaya politik
yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti
pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah
dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat
dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan
Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan
bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi
tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat
hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik
dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan
kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan
sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak
yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena
politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih
kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih
cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror
mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra
revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai
mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi
berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas
sistem yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui
Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut
menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui
bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.
Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik
sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena
diciptakan atas usaha dari rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme
pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya
intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini
secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal
coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan
teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan
kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan
militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi.
Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik
karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit
terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat
kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan
tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang
ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang
sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan
bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik
subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya
bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses
pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan
publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik
telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat
sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh
budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a. Proyek di pegang
pejabat.
b. Promosi jabatan tidak
melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi
pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan
istimewa.
d. Anak pejabat
memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era
Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang
berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi
pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu
telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun
struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari
era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut
Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran
yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di
Indonesia. Relasi antara
pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak
patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih
kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah
satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus
Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa
daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa
daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih
memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat
secara keseluruhan.
Dengan
menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status
dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan
sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya
politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di
kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa
mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih
memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang
berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam
Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan
budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
- Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
2.
Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada
politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik,
yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik
makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya
tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur
politik, sistem hukum, civil society, dsb
3.
Kepentingan negara vs
kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan
negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
4.
Bebas dari kemiskinan dan
kebebasan beragama
- Desentralisasi politik
Pada
kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada
berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan
demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial,
berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan
pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008)
karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan
fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian
sistem politik tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Budaya
politik yang berkembang dalam suatu Negara dilatar belakangi oleh situasi,
kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik
yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan sehingga budaya
politik yang berkembang dalam masyarakat suatu Negara akan mengalami perubahan
dari waktu ke waktu. Jadi, perbedaan kesadaran dan partisipasi politik
masyarakat akan menimbulkan perbedaan budaya politik yang berkembang dalam
masyarakat tersebut. Budaya politik yang berkembang disetiap Negara sangat
beragam, hal ini dipengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing.
Perkembangan Budaya
Politik Masyarakat Indonesia
1.
Indonesia menganut budaya
politik yang bersifat parochial-kaula disatu pihak dan budaya politik
partisipan di pihak lain
2.
Sikap ikatan primodalisme masih
sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia
3.
Masih kuatnya paternalisme
dalam budaya politik Indonesia
3.2 Pendapat Kelompok
Mengenai Perkembangan Budaya Politik
Masyarakat atau bangsa Indonesia terdiri dari kelompok-kelompok
etnis yang mempunyai latar belakang bahasa, ras, budaya, agama yang
berbeda-beda, dan mendiami ribuan pulau besar dan kecil, yang tersebar luas di
kawasan nusantara. Dengan demikian masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai
kelompok budaya politik lokal , dimana masing daerah memiliki tipe budaya
politik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Budaya politik saat ini diyakini
masih bersifat parochial/kaula. Sebagian masyarakat lokal masih jauh tertinggal
dalam hak dan kewajiban politiknya akibat pengalaman politik masa lalu, seperti
imperialisme dan feodalsme.hanya sebagian kecil anggota masyarakat yang sudah
memiliki budaya demokratis karena mereka ditopang oleh kemempuan
sosial,ekonomi, dan tingkat pendidikan yang relatif rendah.
3.3 Saran Kelompok Mengenai Perkembangan Budaya Politik
Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan
aturan-aturan yang sesuai agar tercipta integrasi nasional. Karena bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Depdiknas. 2004.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Kelas XI SMK. Jakarta: Depdiknas Dirjen.
www.wikipedia.com
diakses pada tanggal 30 Juli 2012
www.google.com
diakses pada tanggal 30 Juli 2012
Kurniawan,
Edi., dkk. 2011.BKS Pendidikan
Kewarganegaraan Kelas XI untuk SMA, SMK
dan MA. Bandung : Penerbit Team MGMP PKN SMA Kabupaten Bandung dan
KBB.
Purnama, Euis., dkk.2008. Modul Pendidikan Kewarganegaraan 2 Untuk SMK
Kelas XI. Bandung : Penerbit Yudhistira.
iii
Komentar